Minggu, 28 Februari 2010

Pengolahan Biji Mahoni (Swietenia macrophylla King.) Sebagai Bahan Baku Alternatif Biodiesel

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan bakar minyak adalah sumber energi dengan konsumsi yang terbesar untuk saat ini diseluruh dunia jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Hampir 90% kebutuhan energi dunia dipasok dari bahan bakar fosil. Oil & Gas Journal memperkirakan pada awal tahun 2004 cadangan minyak dunia hanya tersisa 1,27 triliun barrel yang diasumsikan dapat bertahan selama 44,6 tahun. Sementara data dari Departemen Energi AS tahun 2002, minyak akan habis dalam kurun waktu 36,5 tahun terhitung sejak tahun 2002 dan khususnya di Indonesia jika tidak ada penemuan ladang minyak dan kegiatan eksplorasi baru, cadangan minyak di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi konsumsi selama 18 tahun mendatang. Sangat disayangkan karena energi fosil yang terbentuk selama 200 juta tahun ternyata dapat dihabiskan hanya selama 200 tahun saja (Prihandana & Hendroko 2008). Untuk mengatasi masalah krisis energi ini perlu dilakukan langkah-langkah diversifikasi energi yaitu dengan mulai mengubah arah yang semula hanya memburu energi (energy-hunting) dari energi fosil ke upaya membudidayakan energi (energy-farming) dengan tanaman. Indonesia sebagai negara yang dikenal Mega Biodiversity karena memiliki kekayaan yang melimpah akan keanekaragaman fauna dan floranya memiliki potensi untuk mengolah kekayaannya itu menjadi energi terbarukan khususnya berbasis bahan nabati.

Biodiesel merupakan salah satu produk teknologi pemanfaatan energi biomassa yang menggunakan minyak dari tanaman untuk dikonversikan menjadi metil ester (biodiesel) yang diharapkan dapat menggantikan solar sebagai bahan dasar mesin diesel. Indonesia juga telah mengembangkan biodiesel dari bahan baku seperti biji jarak pagar, kelapa sawit, biji nyamplung dan juga minyak jelantah. Pemanfaatan minyak dari biji-bijian tanaman kehutanan seperti biji mahoni (Swietenia macrophylla King.) sebagai bahan biodiesel merupakan alternatif baru yang ideal karena merupakan sumber minyak terbarukan (renewable fuels) yang tidak bersaing dengan bahan baku pangan sebagai kebutuhan konsumsi manusia dan kebutuhan lahan untuk tanaman pangan.

Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian tentang biji mahoni (Swietenia macrophylla King.) untuk dijadikan biodiesel. Diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan biodiesel di Indonesia sehingga dapat mengurangi dampak krisis energi dan mampu menghasilkan sendiri sumber energi dari kekayaan alam yang beraneka ragam.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh waktu penjemuran terhadap jumlah minyak yang dihasilkan dari biji mahoni (Swietenia macrophylla King.).

2. Mengetahui pengaruh pencacahan biji mahoni pada proses pengepresan biji dalam menghasilkan minyak mahoni (Swietenia macrophylla King.).

3. Mengetahui kualitas biodiesel yang dihasilkan dari minyak biji mahoni (Swietenia macrophylla King.).

1.3 Manfaat

Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi dan rujukan bagi para akademisi dalam melakukan penelitian lebih lanjut tentang potensi yang terdapat dalam biji mahoni sebagai bahan baku alternatif biodiesel.

2. Memberikan informasi kepada khalayak umum bahwa biji mahoni merupakan bahan baku yang potensial untuk dikembangkan sebagai biodiesel.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Penghasil Biodiesel

Pengertian ilmiah paling umum dari istilah ‘biodiesel’ yaitu bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumber daya hayati atau biomassa. Biodiesel adalah alternatif bahan bakar solar yang terbuat dari sumberdaya alam yang dapat diperbarui seperti dari minyak tumbuhan dan minyak binatang. Biodiesel bersifat biodegradable dan tidak mengandung senyawa beracun (toxic) dan beremisi rendah serta ramah lingkungan (Fangrui et.al 1999).

Biodiesel termasuk golongan alkohol dengan nama kimia alkil ester, bersifat sama seperti solar bahkan lebih baik nilai cetanenya. Biodiesel dibuat lewat reaksi antara SVO (Straight Vegetable Oil) atau WVO (Waste Vegetable Oil) dengan metanol atau etanol dengan bantuan katalisator soda-api (caustic-soda atau NaOH) atau KOH. Hasilnya adalah metil ester (biodiesel) dengan produk sampingan yaitu gliserin (Prihandana & Hendroko 2008). Banyak jenis sumber bahan baku nabati atau tumbuhan di Indonesia yang bisa diolah menjadi biodiesel yang dapat dilihat dari Tabel 1.

Tabel 1 Tumbuhan Indonesia Penghasil Minyak Lemak

No.

Nama Latin

Nama Lokal

Sumber

Kadar %-b-kr

P/NP

1

Ricinus communis

Jarak Kaliki

Biji

45 - 50

NP

2

Jatropa curcas

Jarak Pagar

Inti Biji

40 - 60

NP

3

Ceiba pentandra

Kapuk / Randu

Biji

24 - 50

NP

4

Hevea brasiliensis

Karet

Biji

40 - 50

NP

5

Psophocarpus tetrag

Kecipir

Biji

15 - 20

P

6

Moringa oleifera

Kelor

Biji

30 - 49

P

7

Aleurites mohiccana

Kemiri

Inti Biji

57 - 69

NP

8

Aleurites trisperma

Kemiri Cina

Inti Biji

-

NP

9

Sleichera trijuga

Kusambi

Daging Biji

55 - 70

NP

10

Sterculia feotida

Kepoh

Inti Biji

45 - 55

NP

11

Callophyllum inophyllum

Nyamplung

Inti Biji

40 - 73

NP

12

Bombax malabaricum

Randu Alas / Agung

Biji

18 - 26

NP

13

Ximenia americana

Bidaro

Inti Biji

49 - 61

NP

14

Cerbera odollam

Bintaro

Biji

43 - 64

NP

15

Gmelina asiatica

Bulangan

Biji

-

NP

16

Croton tiglium

Cerakin / Kroton

Inti Biji

50 - 60

NP

17

Hernandia peltata

Kampis

Biji

-

NP

18

Hibiscus cannabinus

Kenaf

Biji

18 - 20

NP

Keterangan :

Kr = kering ; P = minyak/lemak pangan ; NP = minyak/lemak non pangan.

Sumber : Tatang H. Soerawidjaja, Tirto P. Brodjonegoro dan Iman K. Reksowardojo, Prospek Status dan Tantangan Penegakan Industri Biodiesel di Indonesia, Kelompok Riset Biodiesel, ITB, 25 Juli 2005. (dalam buku Energi Hijau)

2.2 Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King.)

Penyebaran tanaman mahoni (Swietenia macrophylla King.) awalnya mulai dari Meksiko menuju ke selatan sampai dengan Brazil, sementara di Indonesia tanaman ini ditanam di Jawa, Sumatra (2500 ha) dan Sulawesi mulai dari tahun 1987 oleh Perum Perhutani yang total areal penanamannya mencapai 116.282 ha. Morfologi tanaman mahoni dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla King.)

Mahoni diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledonae

Ordo : Rutales

Family : Meliaceae

Sub Family : Swietenidae

Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia macrophylla King.

Swietenia terdiri dari tiga jenis yaitu Swietenia macrophylla King., Swietenia humilis Zucc. dan Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Pengenalan taksonomi dapat diamati melalui perbedaan-perbedaan fisik dari ketiga jenis tersebut (Mayhew & Newton 1998). Pohon mahoni ketika dewasa mencapai tinggi antara 30-35 m dan diameter mencapai lebih dari 1,5 m dbh. Kulit bewarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daun majemuk dengan tata daun alternate dan menyirip.

Buahnya umumnya berbentuk kapsul, kalau masih muda bewarna hijau kemudian kemerahan dan setelah tua menjadi bewarna cokelat abu-abu. Buahnya bercuping lima, panjangnya mencapai 22 cm (Gambar 2). Bagian luar buah mengeras seperti kayu, berbentuk kolom dengan 5 sudut yang memanjang menuju ujung. Jika buah sudah tua kulit buahnya akan pecah sendiri mulai dari pangkal. Biji-bijinya akan terbang tertiup angin dengan bantuan sayap. Umumnya setiap buah terdapat 35-45 biji (Gambar 3).

Gambar 2 Buah mahoni Gambar 3 Buah mahoni yang telah pecah

Biji mahoni terbungkus oleh kulit luarnya yang berbentuk pipih bewarna hitam atau kecokelatan di bagian atasnya yang memanjang berbentuk sayap, panjangnya mencapai 7,5-15 cm. Jumlah bijinya 1.800-2.500 butir per kg sementara persentase kecambah benih segar mencapai 60-90%. Bentuk morfologi biji mahoni dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bji mahoni

Pembentukan bunga sampai buah masak diperlukan waktu 9-12 bulan. Masa berbunga dan berbuah terjadi setiap tahun mulai umur 10-15 tahun. Pembungaan terjadi ketika pohon menggugurkan daunnya atau pada saat daun baru mulai muncul sesaat sebelum musim hujan. Di Indonesia musim bunga terjadi pada bulan September-Oktober dan berbuah antara Juni-Agustus (Joker 2001).

2.3 Minyak Nabati

Minyak mengandung trigliserida sebagai komponen utama penyusunnya, namun trigliserida dapat berwujud padat dan cair tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam tidak jenuh yaitu asam oleat, linoleat dan linolenat dengan titik cair yang rendah. Minyak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida yaitu: 1) lipid kompleks, 2) sterol, 3) asam lemak bebas, 4) lilin, 5) pigmen yang larut dalam lemak dan 6) hidrokarbon (Ketaren 1986).

Minyak mengandung zat warna yang terdiri alpha dan beta karoten, xanthofil, klorofil dan antosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak bewarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Pigmen bewarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Karotenoid ini bersifat tidak stabil pada suhu tinggi dan jika minyak dialiri uap panas maka warna kuning akan menghilang (Ketaren 1986).

Minyak terdapat dalam kantung-kantung minyak berbentuk oval, balon dalam kelenjar atau gelembung dengan ukuran diameter bervariasi. Kantung atau kelenjar minyak tersebut tidak memiliki saluran dan tidak berhubungan dengan sel sekitarnya atau dengan dinding luar sel, tidak memiliki dinding tetapi dibatasi oleh runtuhan jaringan yang terdegradasi. Menurut Denovan (dalam Guenther 1987) dinding sel minyak tidak mudah pecah. Sebagai contoh jika kulit diberi tekanan rendah atau direndam oleh air mendidih atau dalam larutan garam dan disuling dengan penyulingan pada tekanan 1 atm atau kurang maka hanya sebagian kecil minyak yang keluar dari kantung. Agar minyak lebih banyak yang keluar maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah merusak jaringan dengan cara mencacah atau merajang. Apabila dinding kelenjar minyak itu tersobek maka minyak akan terdorong keluar dengan bantuan tekanan (Guenther 1990). Minyak dalam tanaman dapat ditemukan pada daun, biji, buah dan kulit buah. Dalam mengeluarkan minyak dari sumbernya dapat dilakukan cara sebagai berikut:

  1. Metode Penyulingan (Destillation)

Menurut Guenther (1987), dikenal 3 macam metode penyulingan yaitu:

a. Penyulingan dengan air (water destillation)

Bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih atau biasa disebut metode perebusan. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling.

b. Penyulingan dengan air dan uap air (Water and Steam destillation)

Bahan olah diletakkan di atas rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh di bawah saringan. Ciri khas dari metode ini bahwa bahan yang disuling hanya behubungan dengan uap dan tidak berhubungan dengan air panas.

c. Penyulingan dengan uap (Steam destillation)

Metode ketiga ini disebut penyulingan dengan uap atau penyulingan uap langsung dan prinsipnya hampir sama dengan penyulingan menggunakan air dan uap, kecuali bahwa air dan bahan olah sudah tidak dicampur lagi melainkan dipisah pada ketel lain.

  1. Metode enfleurasi

Menurut Guenther (1987), metode enfleurasi atau biasa pula disebut dengan ekstraksi lemak dingin adalah metode yang dilakukan karena bahan olah yang akan digunakan bila menggunakan metode penyulingan menghasilkan minyak atsiri dengan rendemen yang sangat rendah dengan kualitas yang buruk. Metode ini digunakan untuk bunga melati, sedap malam, gardenia dan lain–lain.

3. Metode maserasi

Menurut Hesse dan Zeitchel (dalam Guenther 1987), maserasi adalah ekstraksi dengan lemak panas yang digunakan untuk bahan olah seperti bunga mawar, akasia dan mimosa. Hal ini disebabkan karena pada jenis bunga ini, setelah dipetik kegiatan fisiologinya sudah terhenti sehingga digunakan suatu medium yang dapat menembus jaringan bunga dan melarutkan semua minyak bunga yang ada dalam kelenjar minyak.

4. Metode dengan pelarut menguap (Solvent extraction)

Metode ini menggunakan pelarut menguap seperti petroleum eter dan benzena. Metode ini dapat diterapkan pada semua jenis bahan.

5. Pengempaan (Pressing)

Ekstraksi minyak dengan cara pengempaan umunya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah dan kulit buah. Adanya tekanan pengempaan memungkinkan sel-sel yang mengandung minyak akan pecah dan minyak akan mengalir ke permukaan bahan. Cara ini dibagi 2 yaitu:

a. Hydrolic pressing

Pada tipe ini minyak diperoleh dengan cara memberikan tekanan pada bahan yang mengandung minyak yang dibungkus dengan kain. Kelemahan cara ini terbatas hanya pada bahan yang minyaknya dapat diekstrak dengan tekanan rendah

b. Expeller pressing

Alat pengempaan ini dilengkapi dengan porps berbentuk spiral yang berputar secara kontinyu dalam wadah yang berbentuk silinder Kelebihan pressing ini terletak pada kekontinuitas proses pengempaan dan tidak memerlukan kain pengepresan.

Komposisi asam-asam lemak minyak nabati berbeda-beda tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu triester gliserol dengan asam-asam lemak (C8-C24). Pada Tabel 2 dapat dilihat komposisi asam lemak penyusun minyak mahoni dan gambar berbagai jenis asam-asam lemak dan struktur molekulnya.

Tabel 2 Komposisi asam lemak mahoni

Asam Lemak

Rumus Molekul

Berat Molekul

Komposisi (% b/b)

Asam Palmitat

C15H31COOH

C16:0, BM = 256

12,50

Asam Stearat

C17H35COOH

C18:0, BM = 284

16,42

Asam Oleat

C17H33COOH

C18:1, BM = 282

25,30

Asam Linoleat

C17H31COOH

C18:2, BM = 280

33,87

Asam Linolenat

C17H29COOH

C18:3, BM = 278

11,32

Sumber : Ketaren (1986), Chakrabarty dan Chowdhuri (2007)

Gambar 5 Berbagai jenis asam-asam lemak

2.4 Proses Pembuatan Biodiesel

2.4.1 Proses Pemisahan Gum (Deguming)

Pemisahan gum merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir yang teridiri dari fosfatida, protein, residu, karbihidrat, air dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Proses ini dilakukan dengan cara penambahan asam fosfat ke dalam minyak lalu dipanaskan sehingga akan membentuk senyawa fosfolipid yang lebih mudah terpisah dari minyak (Hambali 2007).

2.4.2 Esterifikasi

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat. Asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industri.

Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam (Zandy et.al 2007). Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada

RCOOH + CH3OH RCOOCH3 + H2O

Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester

Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.

2.4.3 Transesterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi selain itu lebih mudah untuk direcoveri walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis alkohol lainnya seperti etanol (Fangrui et.al 1999).

Secara stoikiometri jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum (Freedman 1984).

Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak kekanan sehingga dihasilkan metil ester (biodiesel) maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang harus dipisahkan (Hambali 2007). Berikut ini disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester (biodiesel).

O

R1 C OCH2 HOCH2

katalis

O O

KOH / NaOH

R2 C OCH + 3CH3OH HOCH + 3R C OCH3

O

R3 C OCH2 HOCH2

Trigliserida Metanol Gliserol Biodiesel

Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida menjadi ester metil asam-asam lemak

Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air dan kandungan asam lemak bebas pada bahan baku yang dapat menghambat reaksi. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan ester pada biodiesel diantaranya kandungan gliserol, jenis alkohol yang digunakan pada reaksi transterifikasi, jumlah katalis sisa dan kandungan sabun. Pada proses transesterifikasi selain menghasilkan biodiesel hasil sampingannya yaitu gliserin (gliserol) yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sabun (Hambali 2007).

2.5 Syarat Mutu Biodiesel

Suatu teknik pembuatan biodiesel hanya akan berguna apabila produk yang dihasilkannya sesuai dengan spesifikasi (syarat mutu) yang telah ditetapkan dan berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 yang tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006.

Parameter dan satuannya

Batas nilai

Metode uji

Metode setara

Massa jenis pada 40 oC, kg/m3

850 – 890

ASTM D 1298

ISO 3675

Viskositas kinematik pada 40 oC, mm2/s (cSt)

2,3 – 6,0

ASTM D 445

ISO 3104

Angka setana

min. 51

ASTMD 613

ISO 5165

Titik nyala (mangkok tertutup), oC

min. 100

ASTM D 93

ISO 2710

Titik kabut, oC

maks. 18

ASTM D 2500

-

Korosi bilah tembaga ( 3 jam, 50 oC)

maks. No. 3

ASTM D 130

ISO 2160

Residu karbon, %-berat,

- dalam contoh asli

- dalam 10 % ampas distilasi

Maks. 0,05

(maks 0,03)

ASTM D 4530

ISO 10370

Air dan sedimen, %-vol.

maks. 0,05

ASTM D 2709

-

Temperatur distilasi 90 %, oC

maks. 360

ASTM D 1160

-

Abu tersulfatkan, %-berat

maks. 0,02

ASTM D 874

ISO 3987

Belerang, ppm-b (mg/kg)

maks. 100

ASTM D 5453

prEN ISO 20884

Fosfor, ppm-b (mg/kg)

maks. 10

AOCS Ca 12-55

FBI-A05-03

Angka asam, mg-KOH/g

maks. 0,8

AOCS Cd 3-63

FBI-A01-03

Gliserol bebas, %-berat

maks. 0,02

AOCS Ca 14-56

FBI-A02-03

Gliserol total, %-berat

maks. 0,24

AOCS Ca 14-56

FBI-A02-03

Kadar ester alkil, %-berat

min. 96,5

dihitung*)

FBI-A03-03

Angka iodium, g-I2/(100 g)

maks. 115

AOCS Cd 1-25

FBI-A04-03

Uji Halphen

Negative

AOCS Cb 1-25

FBI-A06-03


BAB III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Proses pembuatan dan pengujian contoh uji dilakukan di Labotarium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan Labotarium Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi:

a. Biji Mahoni (Swietenia macrophylla King.)

Penelitian ini menggunakan biji mahoni sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

b. Senyawa Kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah adalah asam fosfat 20% untuk proses deguming. Untuk proses transesterifikasi digunakan metanol (CH3OH) dan katalis KOH sementara untuk keperluan analisis digunakan penolphtalein, Na2SO4,, alumunium foil, dietil eter, asam periodat, natrium tiosulfat, kalium iodida, asam asetat glasial, asam sulfat (H2SO4), natrium hipokhlorit, khloroform, kalium dikhromat, aquades dan larutan pati.

3.2.2 Alat

Peralatan yang dipakai untuk percobaan ini dapat dibagi atas beberapa bagian:

a. Peralatan Pengeluaran Minyak dari Biji

1. Mesin pres hidrolik

b. Peralatan Pengolahan Minyak menjadi Biodiesel

1. Erlenmeyer

2. Gelas piala

3. Gelas ukur

4. Magnetic stirrer

5. Hot plate

6. Labu leher tiga

7. Labu pemisah

8. Pipet volumetrik

9. Timbangan

3.2.3 Peralatan Uji Karakteristik

1. Uji Kandungan Gliserol

Terdiri dari buret, erlenmeyer, batang pengaduk, labu dengan alat reflux.

2. Uji Angka Penyabunan

Terdiri labu-labu erlenmeyer tahan alkali (basa), kondensor berpendingin udara dengan panjang minimum 65 cm, hot plate untuk pemanas, serta peralatan titrasi yaitu buret.

3. Uji Angka Asam

Terdiri dari buret serta erlenmeyer.

4. Uji Statistik

Program komputer SAS 6.12

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengulitan Biji

Biji mahoni awalnya dikupas terlebih dahulu dari kulitnya. Biji yang dijemur 2 hari dilambangkan dengan A1 dan A2 sebanyak 2 ulangan. Kemudian biji yang dijemur 4 hari dilambangkan dengan B1 dan B2 sebanyak 2 ulangan. Masing-masing perlakuan dari A1-B2 memiliki biji seberat 1 kg.

3.3.2 Pengeringan Biji

Biji yang telah dipisahkan dari kulitnya kemudian dijemur dibawah sinar matahari dengan perlakuan yang berbeda. A1 dan A2 dijemur selama 2 hari sedangkan B1 dan B2 dijemur selama 4 hari. Setelah itu diukur kadar airnya. Pengeringan dilakukan dengan tujuan menghilangkan kandungan air didalam biji sehingga meningkatkan rendemen minyak yang dihasilkan.

3.3.3 Produksi Minyak

Biji yang telah dikeringkan disiapkan untuk kemudian dipres dengan menggunakan mesin pres hidrolik setelah itu dihitung rendemen minyak yang dihasilkan. Untuk pengepresan juga dilakukan perlakuan yang berbeda, A1 dan B1 merupakan biji yang utuh (Gambar 7) sementara A2 dan B2 merupakan biji yang dicacah (Gambar 8).

Gambar 7 Biji mahoni utuh


Gambar 6 Biji mahoni dengan kulit

Gambar 8 Biji mahoni yang dicacah

3.3.4 Proses Deguming

Deguming bertujuan untuk memisahkan minyak dari komponen pengotor seperti getah/lendir, fosfatida, protein, resin, air, residu dan asam lemak bebas. Proses deguming dilakukan dengan penambahan asam fosfat 20% sebesar 0,5% (b//b) terhadap minyak, proses ini dilakukan dengan pada suhu 800 C selama 15 menit sampai terjadi endapan. Hasil dari proses deguming terdiri dari 2 fase, fase atas merupakan minyak nabati yang berwarna jernih sedangkan fase bawah adalah endapan. Pemisahan endapan dengan minyak nabati menggunakan labu pemisah setelah itu minyak yang dihasilkan ditimbang.

Selanjutnya dilakukan pencucian terhadap minyak menggunakan air dengan tujuan membersihkan minyak dari komponen pengotor yang masih tersisa dalam minyak. Pencucian dilakukan dengan penambahan air hangat bersuhu 600 C sebanyak 30% (b/b) minyak kemudian diaduk diatas hot plate pada kecepatan 300 rpm, setelah itu dilakukan pemisahan air dengan minyak. Proses pencucian dilakukan berulang kali (3-4 kali) hingga air pencucian bewarna jernih. Setelah itu ditimbang minyak hasil pencucian. Minyak kemudian dipanaskan pada suhu 1050 C sampai air yang masih terperangkap dalam minyak menguap dan tidak terlihat gelembung-gelembung air. Setelah itu ditimbang berat minyak yang diperoleh.

3.3.5 Pengujian Free Fatty Acid (FFA) Minyak

FFA (asam lemak bebas) merupakan parameter yang penting dalam proses pembuatan biodiesel untuk pemurnian minyak sehingga perlu diketahui kadar FFA dalam minyak untuk menentukan tahap proses pembuatan biodiesel yang digunakan. Jika kandungan FFA kurang dari 2% maka proses pembuatan biodiesel hanya melalui tahap transesterifikasi, namun jika kandungan FFA lebih dari 2% maka pembuatan biodiesel melalui 2 tahap yaitu esterifikasi dan transesterifikasi.

Dalam pengujian kadar FFA dilakukan pembuatan bahan uji terlebih dahulu seperti:

a. Pembuatan Indikator Phenolphtalein (PP)

Timbang 0,5 gram Phenolphtalein kemudian larutkan dalam 100 ml etanol 95%.

b. Pembuatan Alkohol Netral

Masukkan alkohol 95% ke dalam erlenmeyer, setelah itu diteteskan 2-3 tetes indikator Phenolphtalein (PP). Titrasi dengan KOH 0,1 N hingga netral / pH 7 (terbentuk sedikit warna merah).

c. Pembuatan Larutan KOH 0,1 N

Timbang 2,805 g padatan KOH kemudian larutkan dalam aquades di dalam labu ukur 500 ml setelah itu tera hingga batas dengan aquades.

Setelah bahan uji siap pertama timbang 2-5 gram contoh minyak ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian tambahkan 50 ml alkohol netral 95%. Panaskan di atas hot plate dengan suhu 700 C selama 10 menit kemudian dinginkan. Setelah itu tambahkan indikator PP sebanyak 3-5 tetes kemudian titrasi dengan KOH 0,1 N hingga berubah warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 15 detik setelah itu dilakukan penetapan duplo.

Bilangan FFA = 280 x Volume KOH x Normalitas KOH

10 x Bobot Sampel Minyak

3.3.6 Proses Transesterifikasi

Proses transesterifikasi bertujuan mengkonversi trigliserida (minyak nabati) menjadi metil ester dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Proses transesterifikasi melalui reaksi minyak dengan alkohol (metanol) dengan bantuan katalis yang berkarakter basa.

Dari ke delapan sampel minyak yang dihasilkan hanya empat sampel yang dijadikan biodiesel yaitu A1 ulangan 2, A2 ulangan 1, B1 ulangan 2 dan B2 ulangan 1. Sampel minyak yang dijadikan biodiesel dipilih berdasarkan kualitas minyak yang terbaik. Kualitas sampel dapat dilihat dari nilai FFA terbaik dari setiap perlakuan. Kemudian setelah itu minyak dikonversikan menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi dengan perbandingan molar metanol terhadap minyak yang digunakan adalah 6:1 dan jumlah katalis yang digunakan adalah 1% dari bobot minyak.


Gambar 9 Minyak mahoni Gambar 10 Proses transesterifikasi Gambar 11 Pemisahan biodiesel

Proses transesterifikasi dilakukan pada suhu 600 C selama 60 menit pada pengadukan 300 rpm. Setelah proses transesterifikasi selesai kemudian dipindahkan ke labu pemisah kemudian didiamkan. Akan jelas terlihat pemisahan 2 fase antara metil ester dan gliserol.

Metil Ester

Gliserol


Gambar 12 Fase pemisahan metil ester dengan gliserol

Hasil dari proses transesterifikasi terdiri dari 2 fase, fase atas merupakan metil ester yang berwarna jernih sedangkan fase bawah adalah gliserol. Pemisahan metil ester dengan gliserol menggunakan labu pemisah setelah itu ditimbang biodiesel yang dihasilkan. Selanjutnya dilakukan pencucian biodiesel dengan penambahan air hangat bersuhu 600 C sebanyak 30% (b/b) biodiesel, kemudian diaduk diatas hot plate pada kecepatan 300 rpm. Setelah itu dilakukan pemisahan air dengan biodiesel. Proses pencucian dilakukan berulang kali (3-4 kali) hingga air pencucian bewarna jernih. Kemudian biodiesel dipanaskan pada suhu 1050 C selama 2 jam untuk menghilangkan air yang masih terperangkap dalam biodiesel, setelah itu ditimbang biodiesel hasil pengovenan.

3.4 Metode Pengujian

3.4.1 Uji Angka Asam Biodiesel

Untuk uji angka asam digunakan peralatan yang terdiri dari buret serta erlenmeyer. Metode disajikan pada Lampiran 1.

3.4.2 Uji Kandungan Gliserol Biodiesel

Metode yang dipakai untuk uji kandungan gliserol adalah metode iodometri. Untuk keperluan tersebut digunakan rangkaian alat yang terdiri dari buret, erlenmeyer dan batang pengaduk. Titrasi dilakukan menggunakan larutan etanol-KOH. Metode disajikan pada Lampiran 2.

3.4.3 Uji Angka Penyabunan Biodiesel

Untuk uji angka penyabunan digunakan rangkaian peralatan yang terdiri dari labu-labu erlenmeyer tahan alkali (basa), kondensor berpendingin udara, hot plate untuk pemanas, serta peralatan titrasi yaitu buret. Titrasi dilakukan menggunakan larutan HCl 0,5 N. Metode disajikan pada Lampiran 3.

3.4.4 Perhitungan Kadar Ester Biodiesel

Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dihitung dengan rumus berikut :

Kadar ester (%-b) = 100 x (As – Aa – 18,29Gttl)

As

dengan :

As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel.

Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel.

Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b.

3.4.5 Rancangan Percobaan dan Rencana Analisis

Model rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis faktorial dalam pola acak lengkap (RAL). Model yang digunakan tersusun atas 2 faktor perlakuan, yakni:

a. Faktor A adalah perlakuan penjemuran terhadap biji mahoni yang terdiri atas 2 faktor, yaitu penjemuran 2 hari dan 4 hari.

b. Faktor B adalah perlakuan mekanis terhadap biji mahoni yang terdiri atas 2 taraf, yaitu perlakuan tanpa pencacahan dan dengan pencacahan.

Ulangan pada masing-masing taraf sebanyak 2 kali sehingga jumlah total minyak yang akan dibuat adalah 8 sampel minyak mahoni.

Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + eijk

Keterangan:

Yijk = nilai respon pada taraf ke-i faktor penjemuran biji mahoni dan taraf ke-j faktor perlakuan mekanis terhadap biji mahoni.

µ = nilai rata-rata pengamatan.

Ai = pengaruh sebenarnya faktor penjemuran biji mahoni pada taraf ke-i.

Bj = pengaruh sebenarnya faktor perlakuan mekanis terhadap biji mahoni pada taraf ke-j.

i = 2 hari dan 4 hari.

j = perlakuan tanpa pencacahan dan dengan pencacahan.

k = ulangan (1, 2).

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor penjemuran biji mahoni pada taraf ke-i dan faktor perlakuan mekanis terhadap biji mahoni pada taraf ke-j.

εijk = kesalahan (galat) percobaan pada faktor penjemuran biji mahoni pada taraf ke-i dan faktor perlakuan mekanis terhadap biji mahoni pada taraf ke-j.

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan, maka akan dilakukan analisis keragaman (Analysis of Variance) dengan menggunakan uji F pada tingkat kepercayaan 95%. Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis ragam, kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SAS 6.12.


BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rendemen Minyak Mahoni

4.1.1 Pengaruh Penjemuran

Keterangan ;

A : Jemur 2 hari

B : Jemur 4 hari

Gambar 13 Rendemen minyak mahoni dari penjemuran biji selama 2 dan 4 hari

Hasil rata-rata rendemen minyak dari pengepresan biji yang dijemur selama 2 hari didapatkan hasil 38,26% (382,61 g) sedangkan hasil rata-rata rendemen minyak dari pengepresan biji yang dijemur selama 4 hari yaitu 43,19% (431,89 g). Penjemuran selama 4 hari menghasilkan rendemen minyak lebih tinggi dapat diakibatkan karena lamanya cahaya matahari yang diterima biji menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga minyak lebih banyak yang keluar dibandingkan dengan penjemuran selama 2 hari. Dari nilai kadar air yang didapat dari penjemuran selama 2 dan 4 hari adalah masing-masing 2,5% dan 1,2%, Nilai kadar air hasil penjemuran selama 2 dan 4 hari yang cenderung turun memiliki hubungan yang terbalik dengan rendemen minyak yang semakin meningkat. Hasil ini menunjukkan semakin rendah kadar air biji akan semakin meningkatkan rendemen minyak yang dihasilkan.

Kandungan air dalam biji mempunyai pengaruh terhadap kualitas minyak yang dihasilkan seperti bau, flavor dan sifat kimia minyak itu sendiri. Dengan adanya air akan menyebabkan reaksi hidrolisis yang menyebabkan minyak akan dirubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi ini mengakibatkan ketengikan (rancidity) hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak. Asam lemak bebas juga akan terus meningkat sehingga akan mengurangi rendemen biodiesel ketika akan dikonversikan dari minyak (Ketaren 1986). Maka perlakuan pendahuluan seperti penjemuran sangat penting untuk dilakukan.

Minyak di dalam biji tersimpan dalam kantung-kantung yang berada di dalam biji. Dengan adanya suhu yang tinggi akan menyebabkan kantung-kantung itu pecah dan melepaskan minyak. Lamanya suhu yang diberikan akan membuat minyak semakin banyak yang keluar (Guenther 1990). Hasil rendemen minyak yang didapat menunjukkan perlakuan penjemuran selama 4 hari memberikan jumlah rendemen minyak yang lebih banyak dibandingkan perlakuan penjemuran selama 2 hari dengan nilai masing-masing 43,19% dan 38,26%. Hal ini dikarenakan penjemuran selama 4 hari memberikan intensitas panas yang lebih lama yaitu sekitar 32 jam (penjemuran dari pukul 08.00-16.00) dengan suhu berkisar 30-320 C dibandingkan dengan penjemuran selama 2 hari yang hanya mendapat intensitas panas selama 16 jam. Intensitas panas ini mempunyai pengaruh perusakan terhadap jaringan sel dalam dinding kantung minyak dan kandungan air dalam biji yang membuat minyak lebih banyak yang keluar. Namun tingginya suhu dapat mengakibatkan minyak berwarna gelap karena kandungan pigmen karotenoid di dalam minyak yang bersifat tidak stabil pada suhu tinggi (Ketaren 1986). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama waktu penjemuran mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Dengan demikian untuk aplikasinya disarankan untuk menjemur biji minimal selama 2 hari, namun penjemuran selama 4 hari akan meningkatkan rendemen dan kualitas minyak.

4.1.2 Pengaruh Pencacahan Biji Terhadap Rendemen Minyak

Ukuran biji yang semakin kecil diharapkan menghasilkan rendemen minyak yang semakin besar. Hal ini dikarenakan saat pengepresan semakin kecil ukuran biji, minyak yang terkandung di dalamnya akan semakin mudah keluar sewaktu pengepresan sehingga rendemen minyak meningkat. Biji yang dijemur selama 2 dan 4 hari dibedakan dalam dua bentuk ukuran ketika pengepresan yaitu dicacah dan tidak dicacah. Hasil minyak yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.


Gambar 14 Jumlah minyak yang dihasilkan dari perlakuan ukuran biji

Keterangan: A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Pada penjemuran selama 2 hari dihasilkan jumlah rata-rata minyak dari biji yang tidak dicacah (A1) sebesar 363,42 g (36,3%) sedangkan jumlah rata-rata minyak dari biji yang dicacah (A2) sebesar 401,79 g (40,2%). Sementara pada penjemuran selama 4 hari dihasilkan jumlah rata-rata minyak dari biji yang tidak dicacah (B1) sebesar 430,79 g (43,1%) sedangkan jumlah rata-rata minyak dari biji yang dicacah (B2) sebesar 432,99 g (43,3%).

Denovan (dalam Guenther 1990) menyatakan dinding sel minyak tidak mudah pecah sehingga perlu adanya perlakuan khusus untuk merusak dinding sel minyak agar menghasikan minyak dengan jumlah yang lebih banyak. Perlakuan itu dapat berupa pencacahan atau perajangan yang bertujuan merusak jaringan sel dalam dinding kantung minyak yang dibantu oleh tekanan sewaktu pengepresan sehingga akan menghasilkan minyak yang lebih banyak (Guenther 1990). Hasil rendemen minyak selama penjemuran 2 hari menunjukkan perlakuan pencacahan memberikan rendemen minyak yang lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan pencacahan dengan nilai masing-masing 40,2% dan 36,3%. Hasil serupa juga didapat dari penjemuran selama 4 hari yang menunjukkan perlakuan pencacahan memberikan rendemen minyak yang lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan pencacahan dengan nilai masing-masing 43,3% dan 43,1%. Hal ini dapat disebabkan karena pada proses penjemuran selama 2 hari memberikan pengeringan yang belum maksimal terhadap biji mahoni sehingga dengan adanya perlakuan pencacahan membantu keluarnya minyak. Sementara penjemuran selama 4 hari memberikan pengeringan yang telah maksimal sehingga perlakuan pencacahan memberikan pengaruh yang tidak terlalu banyak terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama waktu penjemuran dan perlakuan pencacahan biji mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah minyak yang dihasilkan

Bentuk alat pengepresan juga memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tempat penampungan biji yang berbentuk tabung silindris dengan setengah bagian tabung yang dilubangi kecil-kecil sebagai jalur minyak keluar ketika dipres, mengharuskan ukuran biji yang semakin kecil sehingga ketika pengepresan minyak tidak terhalang keluar oleh ukuran biji yang besar sehingga dapat keluar dengan maksimal. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan pencacahan memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan.

4.1.3 Kandungan Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid) Minyak Mahoni

FFA (asam lemak bebas) merupakan parameter yang penting dalam proses pembuatan biodiesel untuk pemurnian minyak sehingga perlu diketahui kadar FFA dalam minyak untuk menentukan tahap proses pembuatan biodiesel. Jika kandungan FFA kurang dari 2% maka proses pembuatan biodiesel hanya melalui tahap transesterifikasi, namun jika kandungan FFA lebih dari 2% maka pembuatan biodiesel melalui 2 tahap yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Hasil pengujian kadar FFA terhadap sampel minyak mahoni didapatkan hasil seperti yang tercantum pada Gambar 15.

Keterangan:

A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Gambar 15 Kadar FFA minyak mahoni

Hasil pengujian kadar FFA menunjukkan bahwa semua sampel minyak mahoni yaitu A1, A2, B1 dan B2 memiliki nilai asam lemak bebas (FFA) kurang dari 2% maka minyak mahoni dapat langsung diteruskan ke proses transesterifikasi tanpa melewati proses esterifikasi. Namun dapat dilihat hasil FFA pada perlakuan pencacahan (A2 dan B2) lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa pencacahan (A1 dan B1). Hal ini dapat diakibatkan karena perlakuan pencacahan biji akan membuat air yang terkandung dalam biji akan semakin banyak yang menguap sehingga kadar air A2 dan B2 menjadi lebih rendah. Kadar air yang rendah akan menyebabkan reaksi hidrolisis berjalan lambat sehingga nilai FFA yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama waktu penjemuran dan perlakuan pencacahan biji mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai FFA yang dihasilkan.

4.2 Biodiesel Mahoni

4.2.1 Deguming

Setelah minyak didapatkan dari proses pengepresan biji kemudian dilakukan proses deguming untuk memisahkan senyawa pengotor dalam minyak yang berupa getah atau lendir maupun sisa-sisa ampas biji. Proses ini dilakukan dengan cara penambahan asam fosfat ke dalam minyak lalu dipanaskan sehingga akan membentuk senyawa fosfolipid yang lebih mudah terpisah dari minyak setelah itu dilakukan pencucian terhadap minyak (Hambali 2007). Tabel 4 menunjukkan penurunan berat minyak setelah proses deguming.

Tabel 4 Proses Deguming

Sampel Minyak

Minyak

Deguming

Persentase

Berat (g)

Berat (g)

Penurunan Berat (%)

A1

363.4

289.2

20.42

A2

401.8

320.4

20.26

B1

430.8

340.2

21.03

B2

433

368.5

14.90

Minyak mahoni setelah proses deguming mengalami kehilangan berat berkisar antara 14,9-21,03%. Hal ini dapat disebabkan karena 2 faktor, yaitu senyawa pengotor dan proses pencucian minyak. Senyawa pengotor yang terdapat dalam minyak sebenarnya memberikan kehilangan berat yang sedikit namun proses pencucian merupakan faktor utama dalam kehilangan berat. Hal ini dikarenakan banyaknya minyak yang teremulsi dengan air sehingga ketika proses pemisahan banyak minyak yang ikut terbuang bersama air.

4.2.2 Transesterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi metil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Alkohol yang digunakan adalah metanol sementara katalis yang digunakan adalah KOH. Menurut Freedman (1984) nilai perbandingan yang terbaik atau rasio molar yang digunakan antara metanol dan minyak adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum yaitu sebesar 98-99%. Minyak yang dikonversikan menjadi biodiesel dipilih berdasarkan kriteria asam lamak bebas yang terbaik dari masing-masing perlakuan yaitu A1 ulangan 2, A2 ulangan 1, B1 ulangan 2 dan B2 ulangan 1. Biodiesel yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Proses Transesterifikasi

Sampel

Minyak Mahoni

Kadar FFA

Biodiesel

Rendemen

Berat Minyak (g)

(%)

(g)

(%)

A1

275.19

0,36

262.37

95.34

A2

266.74

0,21

214.67

80.48

B1

307.58

0,38

226.11

73.51

B2

333.45

0,26

271.38

81.38

Gambar 16 Rendemen biodiesel

Rendemen biodiesel yang dihasilkan dari minyak mahoni berkisar antara 73,51-95,34%, hasil ini masih belum memenuhi hasil dari Freedman (1984) yang menyatakan dengan penggunaan rasio molar 6:1 akan memberikan konversi yang maksimum yaitu sebesar 98-99%. Hal ini dapat diakibatkan dari kondisi minyak seperti kandungan air, kandungan asam lemak bebas dan kandungan zat yang terlarut maupun tidak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi reaksi adalah suhu, waktu, rasio molar dan konsentrasi katalis.

4.3 Kualitas Biodiesel Mahoni

4.3.1 Bilangan Asam

Bilangan asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terkandung dalam biodiesel. Ini ditunjukkan dalam mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralisasi 1 g asam lemak metil ester (Mittlebach & Remschmidt 2006). Asam lemak bebas dapat dijadikan indikator kerusakan metil ester akibat oksidasi. SNI-04-7182-2006 menyatakan bahwa batas standar nasional untuk nilai maksimal bilangan asam adalah 0,8 mg KOH/g. Bilangan asam yang lebih besar dari 0,8 mg KOH/g akan menyebabkan terbentuknya abu saat pembakaran, deposit bahan bakar dan mengurangi umur pompa bahan bakar dan filter. Nilai bilangan asam dari sampel biodiesel dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Bilangan asam biodiesel

Keterangan: A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa nilai dari bilangan asam semua sampel biodiesel berada dibawah standar maksimal SNI-04-7182-2006 yaitu 0,8 mg KOH/g sehingga nilai bilangan asam dari biodiesel mahoni sesuai dengan kriteria SNI-04-7182-2006. Hasil pengujian menunjukkan sampel biodiesel B1 dan B2 memberikan nilai bilangan asam yang terbaik yaitu masing-masing 0,25 mg KOH/g. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa hanya lama waktu penjemuran saja yang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap nilai bilangan asam yang dihasilkan. Artinya penjemuran selama 4 hari memberikan nilai bilangan asam yang lebih baik sesuai dengan nilai kadar FFA yang juga rendah (Gambar 15).

4.3.2 Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan menunjukkan banyaknya KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan minyak dan dinyatakan dalam mg KOH/g minyak. Bilangan penyabunan ini berkaitan dengan besarnya massa molekul rata-rata minyak, semakin besar molekul minyak maka nilai bilangan penyabunan semakin kecil. Melalui kombinasi dengan analisa bilangan asam dan kandungan gliserol total, maka bilangan penyabunan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk menentukan kadar ester di dalam biodiesel.

Gambar 18 Bilangan penyabunan biodiesel

Keterangan: A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Dari Gambar 18 dapat dilihat bahwa nilai dari bilangan penyabunan sampel biodiesel berkisar antara 187,79-199,09 mg KOH/g. Hasil pengujian menunjukkan sampel biodiesel B2 memberikan hasil bilangan penyabunan yang terbaik yaitu 199,09 mg KOH/g. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama waktu penjemuran dan perlakuan pencacahan biji mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan.


4.3.3 Gliserol Total

Kadar gliserol total menunjukkan banyaknya gliserol yang terkandung dalam biodiesel baik berupa gliserol bebas, maupun terikat dalam bentuk mono-, di-, dan trigliserida. Kandungan gliserol ini mempunyai kaitan yang erat dengan viskositas dari biodiesel tersebut, semakin tinggi kadar gliserol totalnya maka akan semakin tinggi pula viskositasnya (Mittlebach & Remschmidt 2006). SNI-04-7182-2006 menyatakan bahwa batas standar nasional untuk nilai maksimal gliserol total adalah 0,24%. Nilai gliserol total dari sampel biodiesel dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Gliserol total biodiesel

Keterangan: A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai dari gliserol total semua sampel biodiesel berada dibawah standar maksimal SNI-04-7182-2006 yaitu 0,24% sehingga nilai gliserol total dari biodiesel mahoni sesuai dengan kriteria SNI-04-7182-2006. Hasil pengujian menunjukkan sampel biodiesel A1 memberikan hasil gliserol total yang terbaik yaitu 0,10%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama waktu penjemuran dan perlakuan pencacahan bji mempunyai pengaruh yang nyata terhadap nilai gliserol total yang dihasilkan.

4.3.4 Kadar Ester Alkil

SNI-04-7182-2006 menyatakan bahwa batas standar nasional untuk nilai minimal kadar ester alkil adalah 96,5%. Nilai kadar ester alkil dari sampel biodiesel dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Kadar ester alkil biodiesel

Keterangan: A1 : Jemur 2 hari tanpa pencacahan.

A2 : Jemur 2 hari dengan pencacahan.

B1 : Jemur 4 hari tanpa pencacahan.

B2 : Jemur 4 hari dengan pencacahan.

Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai dari kadar ester alkil semua sampel biodiesel berada diatas standar SNI-04-7182-2006 yaitu 96,5% sehingga nilai kadar ester alkil dari biodiesel mahoni sesuai dengan kriteria SNI-04-7182-2006. Hasil pengujian menunjukkan sampel biodiesel B2 memberikan hasil kadar ester alkil yang terbaik yaitu sebesar 99,62%.


BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Hasil penelitian menyatakan bahwa lama waktu penjemuran selama 2 dan 4 hari tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Rata-rata rendemen minyak dari pengepresan biji yang dijemur selama 2 hari didapatkan hasil 38,26% (382,61 g) sedangkan hasil rata-rata rendemen minyak dari pengepresan biji yang dijemur selama 4 hari yaitu 43,19% (431,89 g).

2. Perlakuan pencacahan biji juga mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap rendemen minyak. Pada penjemuran selama 2 hari dihasilkan rendemen rata-rata minyak dari biji yang tidak dicacah (A1) sebesar 36,34% (363,42 g) sedangkan rendemen rata-rata minyak dari biji yang dicacah (A2) sebesar 40,18% (401,79 g). Sementara pada penjemuran selama 4 hari dihasilkan rendemen rata-rata minyak dari biji yang tidak dicacah (B1) sebesar 43,08% (430,79 g) sedangkan rendemen rata-rata minyak dari biji yang dicacah (B2) sebesar 43,30% (432,99 g).

3. Rendemen biodiesel yang dihasilkan dari minyak mahoni berkisar antara 73,51-95,34%. Nilai bilangan asam dari biodiesel mahoni berkisar antara 0,25-0,33 mg KOH/g. Nilai dari bilangan penyabunan sampel biodiesel berkisar antara 187,79-199,09 mg KOH/g. Nilai dari gliserol total semua sampel biodiesel berkisar antara 0,10-0,12%. Nilai dari kadar ester alkil semua sampel biodiesel berkisar antara 99,56-99,62%. Semua pengujian kualitas biodiesel mahoni yaitu bilangan asam, gliserol total dan kadar ester menunjukkan bahwa biodiesel mahoni telah sesuai dengan kriteria SNI-04-7182-2006.

5.2. Saran

  1. Perlu dilakukan penelitian terhadap bahan baku yang sudah tidak segar dan tidak dikuliti.
  2. Perlu modifikasi proses transesterifikasi mengenai perbandingan molar, katalis, suhu dan waktu reaksi yang digunakan sehingga rendemen biodiesel yang dihasilkan lebih meningkat.
  3. Perlu dilakukan uji parameter lain menurut SNI-04-7182-2006.


DAFTAR PUSTAKA

Chakrabarty, M. M., Chowdhuri, D. K. 2007. The fatty acid composition of the seed fat from Swietenia macrophylla. Journal of the American Oil Chemists' Society 489-490, Volume 34, Number 10, October, 1957. Springer Berlin, Heidelberg.

Fangrui, Ma., Milford, A., Hanna. 1999. Biodiesel Production : review. Jurnal Bioresource Technology 70 1 – 5.

Freedman, B., Pryde.E.H., Mounts. T.L. 1984. Variables Affecting the Yields of Fatty Esters from Transesterfied Vegetable Oils. JAOCS, 61 : 1638-1643.

Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri Jilid I. Diterjemahkan oleh Ketaren, S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

.1990. Minyak Atsiri Jilid IV B. Diterjemahkan oleh Ketaren, S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hambali, Erliza. 2007. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta.

Joker, D. 2001. Informasi Singkat Benih Swietenia macrophylla King. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Mayhew, J.E. dan Newton, A.C. 1998. The Silviculture of Mahogany. Walling Ford: CABI Publishing.

Mittelbach, M., Remschmidt, C. 2006. Biodiesel The Comprehensive Handbook. Austria

Prihandana, R. dan Hendroko, R. 2008. Energi Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.

Zandy, A., Destianna, M., Nazef, Puspasari, S. ”Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel”, Karya Ilmiah, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, ITB, Bandung, 2007.